Asal nama Rokan Hilir
ASAL NAMA ROKAN HILIR
Nama-Nama daerahyang berada di Rokan Hilir dan Asal Muasalnya
1. Rokan
Asal usulnya
Rokan adalah nama dari perairan sungai rokan. Nama ini sejak zaman dahulu kala sudah dikenal dan tak pernah berobah dan terkenal sampai disemenanjung Malaysia dan negeri Cina. Nama rokan disebut juga dalam kata-kata Cina dengan sebutan Sua Ting. Menurut kata-kata orang tua, nama Rokan berasal dari bahasa Arab “Rokana” yang berarti rukun dan damai.
2. Bagan siapi-api
Asal usulnya
Menjelang berakhirnya Abad XVII memasuki Abad XIX, Tanah Putih merupakan pusat pemerintahan, disaat kejayaan Kesultanan Siak dan Masa Kolonial Belanda. Masyarakatnya hidup dengan mata pencarian sebagai nelayan, bertani dan mencari hasil-hasil hutan lainnya untuk memenuhi kehidupan saat itu. Nelayan-nalayan Tanah Putih berlayar menuju arah laut untuk menangkap ikan, dengan mendirikan pondok-pondok darurat dipinggir laut, dan mendirikan jermal. Karena para nelayan tersebut sekali melaut memakan waktu selama enam atau tujuh hari.
Maka disepanjang pantai Pulau Tuan Syeh berdirilah jermal-jermal milik nelayan dari Tanah Putih dan Bangko. Setiap malam tiba akan terlihat alat penerangan berupa “bocong” semacam pelita atau lampu, dengan asap mengepul tinggi beriringan sepanjang pantai, sehingga membuat suasana tak ubahnya seperti perkampungan. Padahal jermal-jermal tersebut hanyalah tempat pemukiman sementara bagi nelayan, agar terhindar dari hujan, panas dan juga tempat beristirahat melepaskan lelah setelah menangkap ikan. Sementara ikan-ikan hasil tangkapan mereka hanya dikeringkan dengan menggunakan kayu bakar atau dengan cara menghandalkan terik mata hari. Pada saat itu nelayan tidak menggunakan garam untuk mengawetkan ikan, karena saat itu sulit untuk mendapatkan garam.
Hasil tangkapan nelayan, baik yang dikeringkan dengan cara dijemur maupun dengan cara disalai dengan menggunakan kayu bakar, lalu dijual kepada masyarakat di tanah putih, selain itu juga dijual keperahu-perahu yang lewat diselat Malaka dengan cara pembayaran tunai maupun barter dengan barang-barang lain yang dibutuhkan. Lama kelamaan daerah jermal yang dipergunakan nelayan tersebut semakin ramai di datangi orang-orang, baik orang-orang lokal maupun pendatang yang melewati Selat Malaka.
Pada suatu ketika, datang serombongan suku dari daratan Cina yang melarikan diri dari daerahnya, melintasi pesisir pantai pulau Tuan Syah tersebut. Serombongan suku Cina itu yang kemudian diketahui sebanyak sembilan suku, saat melewati jermal-jermal itu sama sekali tidak mengetahui lampu yang berasal dari pondok-pondok jermal tersebut berpenghuni nelayan, dan ditambah lagi dengan kunang-kunang malam dipohon-pohon berembang yang hidup dipinggir-pinggir pantai, dan selalu berkelap-kelip dimalam hari menambah lengkapnya keindahan malam. Hal ini membuat rombongan tersebut berhenti dan ikut membeli ikan dari nelayan asal Tanah Putih, dan konon menukarnya dengan garam dan uang, yaitu uang golden dan dolar Singapura.
Perahu-perahu asal daratan Cina itu selalu melanjutkan perjalanannya kedaerah lain, sehingga berita tentang banyaknya ikan di Tanah Putih dan tidak adanya garam tersiar kemana-mana. Akhirnya saudagar dari Singapura berdatangan membeli ikan dan membawa garam untuk dijual kepada nelayan Tanah Putih. Maka semakin hari daerah tempat berdirinya jermal tersebut semakin ramai, dan lama kelamaan nelayan tanah putih mulai medirikan rumah-rumah gubuk dan membawa keluarganya menetap disepanjang perairan Pulau Tuan Syeh.
Setelah beberapa waktu kemudian daerah tersebut semakin ramai dan sibuk oleh karena dilewati jalur pelayaran berbagai daerah, dan juga cerita dari mulut ke mulut khususnya kalangan nelayan yang menyebutkan bahwa pondok-pondok tempat di dirikan jermal yang kemudian dikenal dengan nama ‘Bagan’. Maka, sejak itu daerah di sepanjang perairan Pulau Tuan Syeh tersebut disebut daerah ‘Bagan’. Kemudian seiring dengan bertambahnya kaum nelayan yang datang dari Asahan, Pane, dan Labuhan Batu termasuk cerita yang dibawa masyarakat Cina, yang melihat sekelompok lampu atau pelita yang berbentuk seiringan api yang berkobar, sehingga disebut Bagansiapiapi. Hal ini karena masyarakat Cina sembilan suku yang terlihat dari jauh pemandangan pondok-pondok jermal tersebut seperti dihiasi api, yang sebenarnya adalah alat penerang yang terbuat dari pelita atau kayu-kayu yang sengaja dibakar untuk mengawetkan ikan asin disiang hari ataupun menghalau nyamuk dimalam hari.
Kota Bagansiapiapi terletak di muara Sungai Rokan, di pesisir utara Kabupaten Rokan Hilir, dan merupakan tempat yang strategis karena berdekatan dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas perdagangan internasional.
Asal usulnya
Lepas dari sebuah Tanjung yang arusnya deras di Tanah Putih, melalui aliran Sungai Rokan disebut Tanjung Melawan. Dari transportasi air akibat hilir mudiknya perahu-perahu besar maupun kecil, dari hulu sungai Rokan seperti Rambah, Dalu-Dalu dan Kepenuhan bahkan dari sungai Siak hingga Tapung akan melintasi satu daerah yang bernama Jumrah yang sungainya berliku-liku dengan hutan alamnya yang melintang dan rimbun.
Tak jauh dari daerah itu, di sekitar Jumrah terdampar sebuah Jung atau perahu besar, dan berwarna merah di bagian haluannya. Karena rusak dan tidak dipakai lagi oleh pemiliknya, salah saudagar yang berasal dari hulu Sungai Rokan, saat melintas daerah tersebut melihat Jung Merah itu dengan segala kemegahannyam dari kejauhan, beliau menyempatkan diri berhenti sekedar untuk mencari air bersih, untuk bekal perjalanan menuju kuala Sungai Rokan dan membeli ikan serta menjual barang-barang kerajinan tangan bahkan hasil hutan kepada saudagar-saudagar disekitar sungai Besar dan Suak Temenggung.
Setiap kali menlintas sungai daerah Jung Merah, nelayan maupun masyarakat yang melintasinya menyambut Jung Merah dengan sebutan ‘Jung Meah’. Lambat laun berdatanglah penduduk dari Hulu Sungai Rokan, Tanah Putih dan Siak membuka lahan untuk berladang dan bercocok tanam didaerah tersebut. Dari kata Jung Merah atau yang disebut penduduk asli sebagai ‘Jung Meah’ inilah kemudian berubah sebutannya menjadi Jumrah. Daerah ini memiliki tanah yang subur dan dasar sungai yang berpasir. Semakin lama ucapan tentang Jung Merah semakin akrab terdengar Jumrah, dan akhirnya berita ini tersebar ke seluruh negeri-negeri di Rokan.
Seiring dengan bertambahnya penduduk, Jumrah semakin dikenal. Banyak penduduk-penduduk yang belum menetap singgah ke daerah itu untuk menetap. Baik disekitar pematang Sarang Elang dan membuka kebun karet disana. Tak lama setelah itu salah seorang warga keturunan Cina mendirikan gudang, alat pengolah karet dan menampung hasil karet dari penduduk, untuk selanjutnya di jual kepada pembeli baik dari dalam negeri maupun dari laur negeri bahkan ada yang di kirim ke Malaysia dan Singapura.
Dengan adanya penampung yang membeli karet-karet dari penduduk, sehingga penduduk tidak lagi jauh-jauh menjualnya ke Bagansiapiapi yang saat itu sudah ramai. Ini juga disebabkan karena pindahnya pemerintah kolonial Belanda dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi.
Jumrah terbelah dua oleh Sungai Rokan. Bagi masyarakat seberangnya saat itu hanya mempergunakan sampan atau baluk untuk hilir mudik kerena tidak ada jembatan kayu. Seiring dengan perputaran zaman Jumrah ramai didatangi saudagar-saudagar yang menjajakan dagangannya, serta membeli karet dari daerah sekitar Jumrah. Sehingga saat ini masih ada terdapat gudang penampungan pembelian getah di Dusun Pematang Sarang Elang dan bekas terdamparnya Jung Merah yang menjadi asal muasal sebutan daerah Jumrah.
4. Pedamaran
Asal usul
Asal nama pedamaran berasal dari dua suku kata dalam dialog rokan pe (poi) damar (mencari damar) an (beramai-ramai) maka setelah adanya warga yang berani menetap dan membuat pondok diadaerah tersebut maka orang-oarang yang menggantungkan hidupnya mencari kayu dan getah damar semakin banyak malah menetap, disana lama-kelamaan semakin bnayak warga daerah tersebut lalu semakin terkenallah daerah pedamaran sehingga bandar yang semula ramai adalah suak temengggung ini beralih kepedamaran karena letaknya terbilang dekat dengan kuala sungai rokan. Mengarah bibir selat malaka yang ramai dilalui pelayaran hilir. Mudik dari negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan yang saat itu sedang berdaulat dan hidup rukun damai.
Dulu pada zaman awal abad XV masih jaya-jayanya kerajaan malaka dan beberapa kerajaan lainnya seperti siak, kerajaan rokan, kerajaan aru serta kerajaan asahan sebagai sarana transportasi hanya mengandalkan sampan dan kapal layar, untuk membuat kapal ataupun sampan diperlukan getah damar untuk menghindari bocor atau dimasuki air.
Untuk mencari damar saat itu raja-raja dan saudagar kaya menyuruh masyarakat untuk mencari damar kedaerah-daerah pelosok hingga sampai kehulu-hulu sungai rokan termasuk mencari rotan dan kayu-kayu berkualitas seperti kulim untuk dijadikan sampan atau perahu layar.
Mencari damar sebagai bahan utama (sejenis perekat atau lem) juga dapat dijadikan untuk alat penerang atau lampu, maka dikenallah sebuah daerah yang belum berpenduduk disekitar suak temenggung yang sudah terlebih dahulu ramai karena duduk nya seorang datuk temenggung wakil dari kerajaan siak didaerah sekitar kuala sungai rokan yang ramai dilalui oleh kapal-kapal kayu maupun perahu layar karena berada tak jauh dari bibir selat malaka.
Oleh datu temenggung memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk mencari kayu damar kelokasi yang kini dikenal sebagai daerah pedamaran. Sehingga lama-kelamaan damar suak temenggung dari negeri rokan ini semakin dikenal masyarakat sekitarnya terutama daerah-daerah kerajaan yang ada saat itu dengan demikian masyarakat suak temenggung semakin hari jumlahnya semakin bertambah dan bahkan mulai berombongan mencari damar tersebut dan lama-kelamaan dari pergi mencari damar menjadi ke pedamaran hingga lama kelamaan menjadi pedamaran seperti yangdikenal saat ini.
0 Response to "Asal nama Rokan Hilir"